Pada suatu hari, ketika Siti fatimah datang kepada ayahnya, yakni Nabi Muhammad saw, beliau menyuruhnya agar mengunjungi Siti Muthi’ah yang rumahnya tidak berjauhan. Maka pergilah Siti Fatimah mengajak Putranya Hasan yang masih kanak-kanak. Namun sesampainya di rumah Siti Muthi’ah, Siti Fatimah tidak diizinkan masuk, lantaran ia membawa anak laki-laki.
Maka berkatalah Siti Fatimah, “Kenapa saya tidak diizinkan masuk?”
Jawab Siti Muthi’ah, karena engkau membawa anak laki-laki.”
Kata Fatimah, bukankah ini anak – anak?”
Jawab Siti Muthi’ah, “Benar, tetapi dia anak laki-laki. Saya tidak berani melanggar aturan suami saya. Beliau melarangku memberi izin seorang laki-laki masuk ke rumahku bila beliau tidak ada di rumah.”
Maka tak ada pilihan lain bagi Siti Fatimah selain segera pulang membawa anaknya, untuk kemudian kembali lagi seorang diri, sehingga Siti Muthi’ah pun mengizinkannya masuk.
Ketika berada di dalam rumah Siti Muthi’ah, Siti Fatimah merasa begitu tertarik melihat sebilah rotan sebuah kipas, dan selembar handuk kecil. Rasanya barang-barang itu tak pernah dilihatnya di rumah-rumah lainnya. Maka mulailah Siti Fatimah membuka pembicaraan, “Sesungguhnya maksud kedatanganku kemari adalah dalam rangka memenuhi perintah ayahanda. Beliau sengaja menyuruhku kemari oleh karena kata beliau, engkau adalah perempuan yang paling baik budi pekertinya.”
“Ah, sebenarnya aku biasa-biasa saja. Aku hanya mencoba untuk bisa mengikuti dan mengamalkan ajaran Nabi” elaknya.
“rasanya tak mungkin Ayahanda menyuruhku datang kemari jika memang tidak ada apa-apanya,” lanjut Siti Fatimah.
“Tapi baiklah, sekarang aku ingin bertanya, untuk apakah engkau menyediakan rotan, kipas dan handuk kecil ini?”
“semua itu aku gunakan untuk menyambut kedatangan suamiku yang baru pulang mencari nafkah. Kusambut kedatangannya dengan membukakan bajunya, lalu kuusap keringatnya dengan handuk kecil ini,” jawabnya.
“Pantas sekali jika ayahku mengatakan bahwa ia adalah perempuan yang paling baik budi pekertinya. Sementara aku sendiri tak pernah berbuat begitu terhadap suamiku,” Kata Siti Fatimah dalam hati.
“Sesudah ku keringkan keringatnya,” lanjut Siti Muthi’ah, “lalu kukipasi badannya dengan kipas ini agar hilang gerahnya. Bukankah dengan demikian suamiku menjadi begitu betah bersamaku?”
Begitulah Siti Muthi’ah menjelaskan sambil tersenyum, “Dan padasaat aku menyambut suamiku, akupun berpakaian rapi untuk menyenangkan hati suamiku, lantaran aku tahu bahwa para lelaki itu paling senang melihat istri yang berpenampilan rapi. Begitulah senantiasa kuamalkan setiap kali menyambut kedatangan suamiku dari mencari nafkah.”
“Adapun rotan ini,” lanjutnya, “kugunakan setelah suamiku selesai mandi dan makan. Kukatakan kepadanya : wahai kakanda, jika ada sesuatu yang kurang menyenangkan hati kakanda, baik pelayanan maupun masakan saya, maka saya rela jika mendapat hukuman kanda. Kukatakan demikian sambil aku menyerahkan sebilah rotan ini dan kemudian kubuka bajuku, lalu kukatakan kepadanya “silakan kanda pukul tubuhku dengan rotan ini, dari depan atau dari belakang.”
Namun ternyata suamiku tidak berbuat apa-apa. Bahkan setelah melihat tubuhku bangkitlah birahinya. Lalu kemudian beliaupun mencumbuiku dengan mesra”
Mendengar keterangan Siti Muthi’ah yang begitu menarik itu, Siti Fatimah menjadi sangat kagum karenanya. Lalu pulanglah ia dengan membawa kekagumannya itu seraya berkata di dalam hati, “Pantaslah jika ayahanda mengatakan, bahwa Siti Muthi’ah adalah perempuan yang paling baik budi pekertinya.”
This entry was posted
on Kamis, November 27, 2008
at Kamis, November 27, 2008
and is filed under
OAZE
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.