Ketika pertama kali bekerja di tahun 1955, Kazuo Inamori, salah satu konglomerat terkemuka Jepang, benar-benar anak desa. Seblumnya, ia tak pernah tinggal di kota besar dan bicara dengan aksen selatan yang kental. Setiap kali telepon berdering, ia selalu mengharap orang lain yang mengangkatnya. Ia tak ingin menunjukkan dialek daerahnya dan merasakan hal itu sebagai hambatan.
Tapi, daripada mengalami kompleks kurang harga diri, ia memutuskan untuk menerima kelemahannya dan bekerja keras untuk mengatasinya sehingga tidak merasakannya sebagai suatu kegagalan.
“Saya memang anak desa,” saya mengakuinya pada diri sendiri. “Saya kuliah di sekolah tinggi desa. Saya tak tahu banyak tentang dunia dan kurang bisa berfikir sehat. Saya tak mungkin mengharapkan sukses kecuali saya belajar segalanya mulai dari bawah dan bekerja lebih keras dibanding siapa pun.”
Singklatnya, ia belajar untuk tidak menyangkal kelemahannya. Dengan menerimanya sebaga suatu kenyataan, ia tak perlu berpura-pura. Ia merasa bebas mengambil langkah berikutnya untuk perbaikan.
Jangan berpura-pura dapat melakukan sesuatu yang sesungguhnya tak bisa Anda lakukan. Akui apa yang Anda tidak bisadan mulai dari sana.
“Itulah pelajaran yang saya dapatkan ketika bekerja di Shofu Industries, sebuah perusahaan kecil di Kyoto. Saya mengingatkan diri saya berkali-kali sepanjang hidup saya,“ tulisnya dalam bukunya, Passion for success.